Kamis, 05 Januari 2012

MENGGUNAKAN FUNGSI - FUNGSI UNTUK MEMBUAT KONEKSI - KONEKSI MATEMATIKA

1 komentar
http://isjd.pdii.lipi.go.id/admin/jurnal/310895111.pdf
»» Baca selengkapnya.....

Kamis, 17 November 2011

MENINGKATKAN KUALITAS PROSES DAN HASIL PEMBELAJARAN MATEMATIKA MELALUI OPTIMALISASI REPRESENTASI PEMBELAJARAN DALAM RANGKA PEMBELAJARAN KUANTUM

1 komentar
MENINGKATKAN KUALITAS PROSES DAN HASIL PEMBELAJARAN MATEMATIKA MELALUI OPTIMALISASI REPRESENTASI PEMBELAJARAN DALAM RANGKA PEMBELAJARAN KUANTUM


oleh
I Wayan Puja Astawa
Jurusan Pendidikan Matematika
Fakultas Pendidikan MIPA, IKIP Negeri Singaraja

ABSTRAK


Tujuan penelitian ini adalah untuk meningkatkan kualitas proses pembelajaran ditinjau dari kemampuan guru merancang representasi pembelajaran dan perilaku siswa dalam proses pembelajaran, mengetahui efektivitas representasi pengajaran dalam kerangka pembelajaran kuantum untuk meningkatkan hasil belajar matematika, dan menemukan kendala-kedala yang dihadapi guru matematika dalam pemilihan representasi pembelajaran. Penelitian ini merupakan penelitian tindakan kelas dengan subjek penelitian siswa kelas I2 SMU Negeri 4 Singaraja tahun ajaran 2003/2004 yang berjumlah 43 orang. Data yang dikaji dalam penelitian ini adalah kemampuan merancang representasi pembelajaran, perilaku siswa dalam proses belajar mengajar, hasil belajar matematika, dan kendala-kendala yang dihadapi guru dalam memilih representasi pengajaran. Semua data dianalisis secara deskriftif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kualitas proses pembelajaran meningkat. Hal ini terlihat dari meningkatnya kemampuan guru merancang representasi pembelajaran dan perilaku siswa dalam mengikuti pembelajaran. Skor kemampuan guru merancang representasi pembelajaran pada siklus I sebesar 2,85 dan pada siklus II sebesar 3,15 yang keduanya tergolong klasifikasi baik, sedangkan perilaku siswa dalam mengikuti pembelajaran meningkat dari rata-rata 18,5 yang berkategori baik pada siklus I menjadi 22,5 yang berkategori sangat baik pada siklus II. Di samping itu, representasi dalam kerangka pembelajaran kuantum efektif untuk meningkatkan kualitas hasil belajar dari rata-rata 4,36 menjadi 6,77 walaupun belum memenuhi harapan seperti tuntutan kurikulum. Dalam memilih representasi, ada beberapa kendala yang dihadapi guru, seperti beragamnya latar belakang siswa, keterbatasan buku sumber dan keterbatasan alokasi waktu.

Kata kunci : representasi pembelajaran, pembelajaran kuantum



ABSTRACT


The objectives of this research were: (a) to increase quality of learning process which relates to teacher’s ability in choosing teaching representation and students’ behaviour in learning proses; (b) to know the effectiveness of teaching representation implemented in quantum teaching in increasing students’ achievement in mathematics, and (c) to find out the constrains faced by mathematic teacher in choosing representation. It was a classroom action research using students of I2 SMU Negeri 4 Singaraja in the academic year 2003/2004 as its subject. The total subjects involved in this research were 43 students. Data in this research related to the ability of mathematic teacher in choosing a representation, the students’ behaviour in learning process, the effectiveness of representation implemented in quantum teaching to increase students’ achievement in mathematics, and the constrains faced by the teacher in choosing representation. All data were analyzed descriptively. The results of the research showed that the quality of learning process was increased which could be seen from the increament of teacher’s ability in choosing representations and from  good students behaviour in learning process. The mean score of teacher’s ability in choosing representations increased from 2.85 to 3.15 which was classified as good category for both mean scores. Moreover, the score of students behaviour in learning process increased from 18.5 (good) to 22.5 (excellent). In addition, the representation implemented in quantum learning was effective to increase students’ achievement from 4.36 to 6.77 eventhough both scores were not fulfill curriculum stipulation yet. In choosing representation, some contrains were found by the teacher such as heterogeneous of students’ academic background, limitation of references, and limitation of time.

Key words : teaching representation, quantum teaching


1.  Pendahuluan
            Peranan guru dalam proses pembelajaran sangat penting karena seorang guru harus merancang, melaksanakan, dan mengevaluasi pembelajaran yang dilakukannya. Tahap merancang pembelajaran merupakan tahap yang menentukan keberhasilan dari suatu pembelajaran yang akan dilakukan. Pada tahap ini seorang guru membuat rencana detail apa dan bagaimana pembelajaran yang akan dilakukannya di dalam kelas. Rencana pembelajaran yang baik setidak-tidaknya akan memberikan peluang pelaksanaan dan hasil yang baik pula. Hal yang penting untuk diperhatikan dalam membuat rencana pembelajaran adalah perencanaan pembelajaran yang memungkinkan siswa dapat secara aktif membangun pengetahuannya sendiri dan bukan didiktekan oleh guru. Hal ini sesuai dengan pandangan konstruktivisme dalam pembelajaran (Bodner, 1986).
            Kelemahan dalam merancang pembelajaran yang tidak sesuai dengan karakteristik siswa dan karakteristik materi pelajaran berakibat pada hasil pelaksanaan pembelajaran di kelas. Kelemahan ini sering muncul pada guru-guru matematika di SMU yang berimplikasi pada rendahnya hasil belajar. Hasil observasi terhadap pelaksanaan pembelajaran yang dilakukan oleh guru matematika di kelas I2 SMU Negeri 4 Singaraja tahun ajaran 2002/2003 mengkonfirmasi kelemahan ini. Di samping itu, pembelajaran yang dilakukan masih bersifat teacher oriented sehingga aktivitas siswa dalam proses pembelajaran masih rendah. Masalah lain yang teridentifikasi dari observasi yang dilakukan adalah sebagai berikut. Komunikasi masih bersifat satu arah; siswa masih sedikit yang berpartisipasi dalam pembelajaran; soal-saol latihan masih beorientasi pada buku teks yang kurang mengaitkan dengan situasi psikologis siswa;  kemajuan yang dicapai oleh para siswa kurang dihargai.
             Di pihak lain, output yang dihasilkan dalam situasi pembelajaran seperti di atas masih jauh dari harapan. Berdasarkan hasil wawancara dan pencatatan dokumen yang dilakukan oleh guru matematika yang mengajar di kelas I2 SMU N 4 Singaraja di atas diperoleh data-data prestasi belajar dan ketuntasan belajar matematika siswa sebagai berikut. Rata-rata prestasi belajar matematika sebesar 6,26 dan ketuntasan belajar sebesar 60,9%. Hasil ini masih sangat jauh dari harapan yang tersurat dalam GBPP kurikulum 1994.
            Mencermati permasalahan yang dialami oleh guru seperti di atas, yang berimplikasi pada hasil belajar siswa, perlu dicarikan suatu solusi agar pembelajaran yang dilaksanakan memberikan hasil yang lebih baik. Untuk mengatasi masalah tersebut, akan diupayakan memperbaiki representasi pengajaran matematika. Representasi ini merupakan salah satu proses matematik yang termuat dalam prinsip-prinsip dan standar untuk matematika sekolah yang mengacu pada proses dan produk (NCTM, 2000). Pemilihan representasi ditekankan pada pengalaman siswa karena pengalaman sehari-hari siswa memegang peranan penting untuk pembentukan suatu konsep dalam pembelajaran matematika (Price, 1996; Civil, 1998; Binaja, 2000; Soejadi, 2000; Zamroni, 2000).
Di samping mengerti konsep, pembelajaran yang menekankan pada pengalaman siswa akan membantu siswa melihat kemanfaatan matematika. Pengalaman yang penting dalam pembelajaran matematika adalah pengalaman yang berkaitan dengan kenyataan sehari-hari. Hal ini sesuai dengan pendapat Van de Henvel-Panhuzien (dalam Djoko Waluyo dkk, 2001) yang mengatakan bahwa siswa akan cepat lupa dan tidak dapat mengaplikasikan matematika bila mereka belajar matematika terpisah dari pengalaman mereka sehari-hari. Representasi pengajaran seperti di atas dapat diimplementasikan dalam pembelajaran kuantum yang merupakan suatu model pembelajaran berwawasan konstruktivis karena penerapan pembelajaran kuantum menunjukkan hasil yang menggembirakan (Nilandari, 2000).
Pembelajaran kuantum menyadari kompleksitas dari suatu proses pembelajaran dan kemanfaatannya bagi pebelajar dan lingkungannya. Implementasi pembelajaran kuantum menggunakan kerangka rancangan TANDUR yang merupakan akronim dari Tumbuhkan, Alami, Namai, Demonstrasikan, Ulangi, dan Rayakan. Tumbuhkan berarti tumbuhkan minat dengan memberi rasa puas pada pertanyaan siswa tentang ‘apa manfaatnya bagiku’ dan manfaatkan kehidupan pelajar. Alami dimaksudkan untuk menciptakan atau mendatangkan pengalaman umum yang dapat dimengerti semua pelajar. Namai bermakna menyediakan kata kunci, konsep, model, rumus, dan strategi. Demonstrasikan mengandung makna penyediaan kesempatan bagi pelajar untuk menunjukkan kemampuannya. Ulangi berarti menunjukkan pelajar cara-cara mengulang materi dan menegaskan bahwa mereka benar-benar tahu akan apa yang dipelajari. Rayakan bermakna pengakuan untuk penyelesaian, partisipasi, dan pemerolehan keterampilan dan ilmu pengetahuan (Nilandari, 2000).
Pembelajaran kuantum berakar dari beberapa teori belajar modern seperti accelerated learning dan neurolinguistic program (Abdurrahman, 1992).  Dalam pelaksanaannya diperlukan penataan panggung belajar (ruang kelas) yang nyaman dan menyenangkan. Panggung belajar ini berdimensi empat aspek, yaitu suasana, landasan, lingkungan dan rancangan. Suasana kelas meliputi bahasa yang digunakan, cara menjalin rasa simpati dengan siswa, sikap terhadap sekolah dan belajar. Suasana yang menggembirakan akan membawa kegembiraan juga dalam belajar. Landasan merupakan kerangka kerja seperti tujuan, keyakinan, kesepakatan, kebijakan, prosedur, dan aturan bersama yang memberi guru dan siswa sebuah pedoman untuk bekerja dalam komunitas belajar. Lingkungan adalah cara penataan ruang kelas yang meliputi pencahayaan, warna, pengaturan meja dan kursi, tanaman, musik dan semua hal lain yang mendukung proses belajar. Rancangan merupakan penciptaaan terarah unsur-unsur penting yang bisa menumbuhkan minat siswa, mendalami makna, dan memperbaiki proses tukar-menukar informasi.

2.  Metode Penelitian
            Subjek penelitian ini adalah semua siswa kelas I2 SMU N 4 Singaraja tahun ajaran 2003/2004 yang berjumlah 43 orang. Objek penelitiannya adalah kualitas proses dan hasil belajar matematika dalam pokok bahasan Matriks dan Grafik Fungsi Kuadrat dengan pemilihan suatu representasi. Representasi digunakan dalam menyajikan konsep, menumbuhkan pemahaman siswa dan memodelkan ke dalam representasi yang lain dalam soal cerita (Asa’ri, 2001). Dalam penelitian ini, representasi lebih ditekankan pada pemilihan situasi sehari-hari untuk menyajikan konsep matematika.
            Penelitian ini merupakan penelitian tindakan kelas yang menggunakan rancangan dari Kemmis dan Taggart (1988), yang terdiri dari empat tahapan, yaitu: rencana tindakan, pelaksanaan tindakan, evaluasi dan observasi, dan refleksi.
Pada perencanaan tindakan, dilakukan persiapan yang diperlukan dalam pelaksanaan pembelajaran yang terdiri dari: menetapkan rancangan representasi. Representasi penyajian konsep yang dipilih adalah permainan bola tenis dan ayunan bandul untuk pokok bahasan grafik fungsi kuadrat. Untuk pokok bahasan matriks, dipilih representasi penyusunan barang-barang belanjaan untuk keperluan sehari-hari. Dengan representasi yang telah dipilih, selanjutnya dibuat (a) rencana pembelajaran yang berpedoman pada representasi kemudian diimplementasikan dalam kerangka pembelajaran kuantum, (b) alat evaluasi dan (c) pedoman wawancara. Alat evaluasi berupa tes hasil belajar digunakan untuk mengetahui efek pemberian tindakan terhadap hasil belajar siswa sedangkan pedoman wawancara digunakan untuk mengetahui kendala-kendala yang dihadapi guru dalam pemilihan representasi pengajaran.
Sebelum pembelajaran dilakukan, guru menata ruang kelas agar tercipta suasana kondusif (menyenangkan) untuk pembelajaran. Pada tahap ini, diinformasikan pelaksanaan pembelajaran, dipersiapkan perangkat yang diperlukan dan diorganisasikan siswa untuk belajar. Pelaksanaan pembelajaran kuantum yang berdasarkan kerangka TANDUR dengan representasi yang telah dipilih dilakukan kegiatan-kegiatan sebagai berikut.

Kerangka pembelajaran kuantum

Kegiatan yang dilakukan guru dan siswa

TUMBUHKAN
Guru memberikan apersepsi dengan menekankan manfaat materi pembelajaran yang akan dilakukan
ALAMI
Guru menyajikan konsep dengan menggunakan representasi yang sesuai dengan latar belakang siswa dan siswa mengkonstruksi pengetahuan berdasarkan pengalamannya
NAMAI
Guru menyediakan kata-kata kunci, petunjuk singkat dan penjelasan minimal dari suatu konsep yang dipelajari



DEMONSTRASIKAN
Siswa menunjukkan kemampuannya dalam mengkonstruksi pengetahuan/konsep yang sedang dibahas seperti menjawab pertanyaan, mengerjakan soal, mengkomunikasikan di depan kelas, atau mengomentari pendapat teman lain.
ULANGI
Guru memberikan beberapa latihan soal yang mengarah pada kegiatan siswa untuk mengulangi pembentukan konsep yang telah dilakukan
RAYAKAN
Siswa yang menunjukkan kemajuan dalam belajar mendapat penghargaan (reinforcement) dari guru. Penghargaan verbal dipilih dalam penelitian ini.
Tahapan pembelajaran ini dilakukan dalam dua siklus, dengan masing-masing siklus untuk satu pokok bahasan.
Dalam setiap siklus, dilakukan dua evaluasi, yaitu evaluasi terhadap pelaksanaan tindakan untuk melihat kesesuaian dengan perencanaan beserta kendala-kendalanya dan evaluasi terhadap efek pemberian tindakan dengan melihat aktivitas dan hasil belajar. Selain evaluasi, juga dilakukan observasi yang bertujuan untuk melihat perilaku siswa dalam proses pembelajaran.
            Refleksi dilakukan dengan tujuan, baik untuk melihat kelemahan-kelemahan maupun kendala-kendala pada tindakan yang dilakukan agar tindakan berikutnya menjadi lebih optimal. Refleksi pada akhir siklus 1 digunakan untuk memperbaiki tindakan pada siklus 2 sehingga menjadi lebih akurat.
            Ada empat jenis data yang dikumpulkan dalam penelitian, yaitu kemampuan merancang pembelajaran dengan representasi yang tepat, hasil belajar, perilaku siswa dalam pembelajaran, dan kendala-kendala yang dihadapi guru dalam memilih representasi matematika. Data kemampuan merancang pembelajaran dengan representasi yang tepat dikumpulkan dengan Alat Penilaian Kemampuan Guru (APKG) yang dimodifikasi dari buku petunjuk pelaksanaan PPL IKIP Negeri Singaraja dengan 13 indikator. Modifikasi dilakukan pada indikator penentuan alat bantu mengajar, penentuan sumber belajar, pilihan jenis kegiatan belajar, dan urutan langkah-langkah mengajar. Modifikasi ditekankan pada pemilihan representasi matematika dan pelaksanaannya pada pembelajaran kuantum. Setiap indikator mempunyai rentangan skor 0 – 4 sehingga skor maksimum ideal sebesar 52 dan skor minimum ideal sebesar 0. Selanjutnya, kemampuan ini digolongkan dengan menggunakan klasifikasi sangat baik, baik, sedang, kurang, dan sangat kurang seperti dalam Nurkencana dan Sunartana (1992). Data hasil belajar dijaring dengan tes hasil belajar dan dianalisis dengan membandingkan rata-ratanya tiap siklus dan dengan ketetapan kurikulum. Data perilaku siswa dalam pembelajaran diobservasi dengan menggunakan lembar observasi dengan tujuh indikator yang diamati seperti dalam Sarna (2001). Ketujuh indikator tersebut adalah interaksi anak selama kegiatan pembelajaran, keberanian anak dalam bertanya/ mengemukakan pendapat, partisipasi anak dalam pembelajaran, motivasi dan kegairahan anak dalam pembelajaran, kehadiran, hubungan anak dengan anak, dan hubungan anak dengan guru. Analisis terhadap data perilaku siswa dalam pembelajaran sama dengan analisis data kemampuan guru merancang pembelajaran dengan representasi yang tepat. Data terakhir berupa kendala-kendala dalam memilih representasi digali dengan wawancara kemudian dicatat sesuai dengan kendala yang diungkapkan oleh guru.

3. Hasil Penelitian dan Pembahasan
3.1 Hasil Penelitian
            Kualitas proses pembelajaran dalam pelaksanaan pembelajaran dengan representasi pengajaran dalam kerangka pembelajaran kuantum tergolong baik. Hasil ini dapat dicermati dari dua aspek. Pertama, aspek kemampuan guru kemampuan guru merancang pembelajaran dan perilaku siswa di dalam kelas selama mengikuti pembelajaran. Skor kemampuan guru merancang representasi pembelajaran pada siklus I sebesar 2,85 dan pada siklus II sebesar 3,15 yang keduanya tergolong klasifikasi baik, sedangkan perilaku siswa dalam mengikuti pembelajaran meningkat dari rata-rata 18,5 yang berkategori baik pada siklus I menjadi 22,5 yang berkategori sangat baik pada siklus II.
Atmosfir akademik selama proses pembelajaran juga baik. Hal ini dapat dilihat terjadinya pergeseran paradigma pembelajaran dari pembelajaran yang berpusat pada guru ke pembelajaran yang berpusat pada siswa. Hal ini mendorong munculnya perilaku positif siswa dalam pembelajaran. Siswa mulai berani menunjukkan kinerjanya. Konsep-konsep dasar dari fungsi kuadrat seperti sumbu simetri, titik puncak, dan grafiknya mudah mereka pahami lewat pengamatan lintasan bola tenis dan bandul yang dimainkan oleh teman-temannya. Demikian juga halnya dengan konsep matrik seperti baris, kolom, elemen-elemen matriks mampu didefinisikan sendiri oleh siswa. Rata-rata 90% siswa ikut aktif selama proses pembelajaran. Aktivitas ini dapat dilihat dari pertanyaan maupun komentar mereka kepada guru maupun teman lainnya.
Berbeda dengan kualitas proses pembelajaran, kualitas hasil belajar masih belum menggembirakan. Hasil belajar pada siklus I rata-ratanya sebesar 4,36. Hasil ini tergolong sangat kurang, sedangkan hasil belajar pada siklus II lebih baik daripada hasil belajar pada siklus I. Rata-rata hasil belajar pada siklus II sebesar 6,77 yang tergolong cukup baik.
Hasil lain yang diperoleh adalah kesadaran guru bahwa representasi pengajaran yang tepat memegang peranan penting dalam meningkatkan kualitas proses dan hasil belajar. Namun, dalam memilih representasi yang tepat, terdapat beberapa kendala yang dihadapi guru. Kendala-kendala tersebut adalah latar belakang siswa yang sangat heterogen, kurang tersedianya buku-buku sumber, dan ketersediaan alokasi waktu yang terbatas.

3.2 Pembahasan
            Implementasi pembelajaran kuantum dengan representasi yang telah dilakukan mampu menghasilkan kualitas proses pembelajaran yang cukup baik. Hal ini dapat dilihat dari dua sisi. Sisi pertama, meningkatnya pengetahuan dan keterampilan guru dalam mempersiapkan rencana pembelajaran yang memungkinkan siswa mengkonstruksi sendiri pengetahuan karena sesuai dengan latar belakangnya (situasi nyata yang mereka alami). Situasi yang dipilih oleh guru dalam proses pembelajaran telah akrab dikenal oleh siswa. Hasil ini menguatkan temuan bahwa pengalaman sehari-hari sangat penting dalam pembentukan suatu konsep (Price, 1996; Civil, 1998; Binaja, 2000; Soejadi, 2000; Zamroni, 2000). Di samping itu, representasi yang tepat akan membantu siswa untuk memahami konsep secara utuh sehingga memungkinkan siswa terlibat aktif dalam pembelajaran. Pentingnya representasi dalam pembelajaran matematika seperti di atas juga ditekankan oleh As’ari (2001).
Sisi yang kedua dari peningkatan kualitas proses pembelajaran dapat dilihat dari perilaku anak dalam proses belajar mengajar. Pada kedua siklus, perilaku anak dalam proses belajar mengajar tergolong baik. Perilaku anak ini dilihat dari interaksi anak selama kegiatan pembelajaran, keberanian anak dalam bertanya/mengemukakan pendapat, partisipasi anak dalam pembelajaran, motivasi dan kegairahan anak dalam pembelajaran, kehadiran, hubungan anak dengan anak, dan hubungan anak dengan guru. Perilaku siswa yang baik ini tumbuh dan berkembang dalam suasana yang alami sebagai akibat dari keterlibatan kognitif mereka secara aktif.
            Meningkatnya kualitas proses pembelajaran tidak diikuti oleh peningkatan kualitas hasil belajar. Rata-rata hasil belajar pada siklus I sebesar 4,36 tergolong sangat kurang. Hasil belajar pada siklus II lebih baik daripada hasil belajar pada siklus I. Rata-rata hasil belajar pada siklus II sebesar 6,77 tergolong cukup baik. Ketuntasan belajar pada siklus I hanya 1%, sedangkan ketuntasan belajar pada siklus II sebesar 58 %. Bila hasil-hasil ini dikomparasikan dengan standar yang diharapkan dalam kurikulum 1994, masih jauh terjadi ketimpangan yang mensyaratkan rata-rata 6,0 dengan ketuntasan belajar 85%. Hasil-hasil ini tidak sesuai dengan temuan DePorter dkk. (dalam Nilandari, 2000) yang menyatakan bahwa penerapan pembelajaran kuantum dapat meningkatkan hasil belajar. Perbedaan ini dapat ditelusuri sebagai berikut. Selama kegiatan penelitian, terjadi dua kejadian yang tidak diperhitungkan sebelumnya yang berimbas pada hasil penelitian yang diharapkan. Kejadian yang pertama adalah perubahan kebijakan tentang pelaksanaan kurikulum dari kurikulum 1994 ke kurikulum berbasis kompetensi (KBK) dan kegiatan peringatan hari ulang tahun sekolah dan hari libur/cuti bersama yang banyak menyita waktu. Kegiatan pertama mengakibatkan persipan peneliti/guru yang telah disusun sebelumnya menjadi mubazir dan kegiatan kedua menggangu konsentrasi siswa dalam belajar. Di samping itu, pelaksanaan evaluasi yang waktunya jauh setelah pembahasan pokok bahasan dan dilakukan setelah siswa libur panjang menyebabkan mereka tidak mampu menunjukkan hasil belajar terbaiknya. Pelaksanaan pembelajaran kuantum juga tidak sepenuhnya dapat dilaksanakan. Pemberian musik selama proses pembelajaran yang merupakan unsur penting dalam menciptakan kondisi alpha dalam belajar tidak dapat dilaksanakan.

4.  Penutup
            Beberapa simpulan yang dapat diambil dari pelaksanaan penelitian ini adalah sebagai berikut. Pertama, kualitas proses pembelajaran dilihat dari kemampuan guru menyiapkan representasi pengajaran dan perilaku siswa dalam pembelajaran di kelas tergolong baik. Hal ini ditandai dengan meningkatnya kemampuan guru dalam merancang pembelajaran dengan representasi yang tepat. Selain itu, atmosfir dalam kelas juga baik selama proses pembelajaran berlangsung. Kedua, hasil belajar pada siklus I rata-ratanya sebesar 4,36. Hasil ini  tergolong sangat kurang. Hasil belajar pada siklus II lebih baik daripada hasil belajar pada siklus I. Rata-rata hasil belajar pada siklus II sebesar 6,77 yang tergolong cukup baik. Dilihat dari hasil kedua siklus, maka representasi pengajaran dalam kerangka pembelajaran kuantum efektif untuk meningkatkan hasil belajar. Namun, dilihat dari ketetapan kurikulum, hasil ini belum memenuhi harapan. Ketiga, beberapa kendala yang dihadapi guru dalam memilih representasi adalah latar belakang siswa yang sangat heterogen, kurang tersedianya buku-buku sumber, dan ketersediaan alokasi waktu yang terbatas.
Berdasarkan beberapa hasil penelitian di atas, beberapa saran dapat diajukan. Kemampuan guru dalam merancang pembelajaran dengan memilih representasi yang tepat perlu terus ditingkatkan. Pelaksanaan pembelajaran matematika dengan optimalisasi representasi dalam kerangka pembelajaran kuantum seperti di atas belum berjalan optimal. Oleh karena itu, disarankan kepada guru matematika/peneliti lain untuk melihatnya pada situasi kelas dan sekolah yang berbeda.

DAFTAR PUSTAKA


Anonim. 2000. Buku Petunjuk Pelaksanaan PPL IKIP Negeri Singaraja. Singaraja. LPPL IKIP Negeri Singaraja
Abdurrahman, Alwiyah. 1992. Quantum Learning, Membiasakan Belajar Nyaman dan Menyenangkan.terjemahan dari Quantum Learning: Unleashing The Genius In You Karya Bobbi DePorter dan Mike Hernacki. Bandung. Kaifa
As’ari Abdurrahman. 2001. representasi: Pentingnya dalam Pembelajaran Matematika. Matematika, Jurnal Matematika atau Pembelajarannya.7(2)
Binadja, A. 2000. Wawasan Set dalam Kurikulum Matematika. Makalah disampaikan dalam Konvensi Nasional Pendidikan Indonesia
Bodner, G. M. 1986. Constructivism: A Theory of Knowledge. Journal of Chemical Education. 63 (10)
Civil, M. 1998. Bridging in School Matematics and Out-of School Mathematic : a refection. www.hedgehog.math.arizona.edu/~bridge/aerag8.html
Djoko Waluyo, dkk. 2001. Peningkatan Kualitas Pembelajaran Matematika di Kelas 1 Sekolah Dasar melalui Optimalisasi Representasi Pengajaran. Proposal penelitian tidak diterbitkan
Hudojo, H. 1988. Mengajar Belajar Matematika. Jakarta. Depdikbud Dirjrn Dikti.
Kemmis, W.C and Taggart, R.M. 1988. The Action Research Planner. Geelong Victoria. Deakin University
McNiff, J. 1992. Action Research: Principles and Practice. New York. Chapmann and Hall Inc.
NCTM. 2000. Principles and Standards for School Mathematics. www.nctm.org
Nilandri, Ary. 2000. Quantum Teaching: Mempraktikkan quantum learning di ruang-ruang kelas. Terjemahan dari Quantum Teaching: Orchestrating Student Success karya Bobby DePorter dkk. Bandung. Kaifa
Nurkencana dan Sunartana. 1992. Evaluasi Pendidikan. Surabaya. Usaha Nasional
Price, J. 1996. President’s Report: Building Bridges of Mathematical Understanding for All Children. Journal for Research in Mathematics Education. 27, 603-608
Soedjadi, R. 2000. Nuansa Kurikulum Matematika Sekolah di Indonesia. Majalah Ilmiah Himpunan Matematika Indonesia (Prosiding Konferensi Nasional Matematika X ITB, 17 –20 Juli 2000)
Zamroni. 2000. Paradigma Pendidikan Masa Depan. Yogyakarta. Bigraf. Publishing
»» Baca selengkapnya.....

KEMAMPUAN GURU-GURU SEKOLAH DASAR DALAM MEMECAHKAN MASALAH MATEMATIKA REALISTIK

1 komentar
KEMAMPUAN GURU-GURU SEKOLAH DASAR DALAM MEMECAHKAN MASALAH MATEMATIKA REALISTIK 


oleh
I Gusti Putu Suharta
Jurusan Pendidikan Matematika
Fakultas Pendidikan MIPA,  IKIP Negeri Singaraja


ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui: (1) kemampuan guru-guru sekolah dasarn dalam memecahkan masalah matematika realistik, dan (2) faktor dominan yang mempengaruhi kemampuan guru. Jenis penelitian ini adalah studi kasus. Data tentang kemampuan guru-guru dalam memecahkan masalah matematika realistik dikumpulkan dengan tes sedangkan  data tentang faktor dominan yang mempengaruhi kemampuan guru dikumpulkan dengan angket dan wawancara. Selanjutnya data dianalisis dengan menggunakan statistik deskriptif. Temuan penelitian ini adalah   kemampuan guru SD dalam memecahkan masalah matematika realistik tergolong “TR- “ yaitu tidak realistik,  tidak mempunyai alasan logis, dan  faktor dominan yang mempengaruhi kemampuan guru adalah pengalaman guru.

Kata Kunci: masalah matematika realistik--pemecahan masalah



ABSTRACT

This research aimed to show: (1)  the elementary schools teacher’s ability in problem solve of realistic mathematics, and (2) dominant factor that impact it. The research  was a case study. The data were collected by tes, questionnaire, and interview. Then the data were analyzed by using descriptive statistics. The results showed that the elementary schools teacher’s ability in problem solve of realistic mathematics is “NR” ie not-realistic, have not logic reason and dominant factor to impact it is teacher’s experients.

Key words: realistic mathematics problem – problem solving



1. Pendahuluan                    
Menurut Soedjadi (1998/1999), tujuan pembelajaran matematika di semua jenjang pendidikan persekolahan diklasifikasi menjadi tujuan formal dan tujuan material. Tujuan yang bersifat formal menekankan pada penataan nalar dan pembentukan kepribadian, sedangkan tujuan yang bersifat material lebih menekankan pada kemampuan penerapan matematika. Sesuai dengan uraian ini, maka salah satu tujuan pembelajaran matematika di sekolah  agar siswa dapat menerapkan matematika dalam kehidupan nyata atau memecahkan masalah matematika realistik. Dalam memecahkan masalah matematika realistik, disamping memerlukan pengetahuan tentang konsep-konsep matematika juga memerlukan pertimbangan realistik. Contoh masalah matematika realistik,
sebanyak 1128 siswa akan berdarmawisata ke Danau Batur menggunakan bus. Bila setiap bus dapat memuat  paling banyak 36 siswa, berapakah banyak bus yang diperlukan ?

Untuk memecahkan masalah tersebut, diperlukan pengetahuan tentang konsep pembagian bersisa, dan pertimbangan realistik. Hasil studi Suharta (2001) pada 17 orang siswa kelas V SD dan 30 orang siswa kelas I SLTP di Singaraja tentang masalah di atas menunjukkan bahwa,  tidak satupun siswa SD menjawab benar, sedangkan untuk siswa SLTP hanya 6,7 % orang yang menjawab benar yaitu 32 bus (jawaban realistik), tetapi tidak dapat memberikan komentar realistik. Ada sebanyak 21,22 % siswa yang dapat menjawab menunjukkan pembagian 1128 dengan 36, tetapi jawaban mereka adalah 31,3 bus. Jawaban siswa (31,3 bus) jelas tidak menggunakan pertimbangan realistik atau pengetahuan dunia nyata. Hasil studi ini merupakan indikasi bahwa siswa SD dan SLTP kurang menggunakan pertimbangan realistik dalam memecahkan masalah matematika realistik. Sehubungan dengan ini, Reusser dan Stebler (1997) mengatakan bahwa, kesulitan-kesulitan dan kegagalan siswa dalam pemecahan masalah cerita adalah (1) siswa sering menjawab masalah tanpa pengertian, (2) siswa dengan cepat menjawab masalah yang tidak dapat dipecahkan, dan (3) siswa hampir tidak pernah bertanya, apakah masalah yang diajukan dapat dijawab atau tidak
Salah satu faktor yang mempengaruhi kegagalan-kegagalan siswa dalam memecahkan masalah cerita (realistik) adalah pengalaman siswa dalam belajar di kelas. Menurut  Koehler dan Grouws (1992) hasil belajar siswa secara langsung dipengaruhi oleh pengalaman siswa,  pengalaman siswa dipengaruhi oleh perilaku guru, dan perilaku guru dipengaruhi oleh karakteristik guru. Mengacu pendapat Koehler dan Grouws tersebut berarti, kemampuan siswa dalam memecahkan masalah matematika realistik dipengaruhi oleh pengalaman siswa dalam proses belajar di kelas yang diciptakan oleh guru. Dengan kata lain, kemampuan guru sendiri dalam memecahkan masalah matematika realistik akan berpengaruh langsung terhadap pengalaman belajar siswa. Karena itu, kemampuan guru dalam memecahkan masalah matematika realistik perlu diungkap. Masalah penelitian ini adalah (1) bagaimanakah kemampuan guru-guru SD dalam pemecahan  masalah matematika realistik , (2) faktor-faktor apa yang dominan mempengaruhi kemampuan guru-guru SD dalam memecahkan masalah matematika realistik
Masalah matematika realistik seperti halnya masalah cerita sangat penting diberikan ke pada siswa. Menurut Verschaffel, Greer & De Corte (Novotna, 2000)  fungsi  masalah matematika realistik adalah (1)  aplikasi, yaitu untuk mempraktikan apa yang mereka pelajari di sekolah ke dalam situasi se hari-hari, (2) motivasi, yaitu masalah cerita dapat juga digunakan untuk mendorong siswa bahwa secara real mereka perlu matematika, untuk hidup dalam dunia real, (3) pemancing pikiran, yaitu untuk latihan siswa berpikir kreatif dan mengembangkan keterampilan heuristik mereka dan kemampuan pemecahan masalah, dan (4) keterampilan formasi konsep yaitu untuk mengembangkan konsep dan ketrampilan matematika
Dengan demikian, fungsi masalah matematika realistik dalam belajar matematika sangatlah penting yaitu agar anak dapat melihat manfaat matematika dalam kehidupan real dan dalam bidang yang lain, mengembangkan penalaran, dan meningkatkan sikap siswa. Selain itu, masalah matematika realistik dapat digunakan sebagai sumber inspirasi pembentukan dan pengkonstruksian konsep-konsep matematika atau pengembangan konsep-konsep matematika.

2. Metode Penelitian
2.1 Subyek Penelitian
Sebagai subyek penelitian ini adalah 6 orang guru-guru SD yang terdiri atas 2 orang guru kelas IV dan 4 orang guru kelas V. Karakteristik dari subyek penelitian disajikan pada tabel berikut.
Tabel 1: Karakteristik Subyek Penelitian
Jenis kelamin
Kualifikasi Pendidikan Terakhir
Pengalaman Kerja
Laki
Peremp.
D.II
D.III
S1
< 15 Thn
15 - 30 Thn
>30 Thn
1
5
4
1
1
2
3
1

Subyek penelitian dipilih berdasarkan atas pertimbangan jenis kelamin, umur,  pengalaman kerja, lokasi sekolah, dan kualifikasi pendidikan terakhir.  Dipilihnya guru kelas IV dan V disebabkan oleh para guru kelas IV dan V  mempunyai pengalaman dalam mengajarkan masalah cerita menyangkut keempat operasi dasar.

2.2 Rancangan Penelitian
Agar dapat mengungkap secara mendalam dan seksama tentang kemampuan  guru dalam memecahkan masalah matematika realistik serta faktor-faktor yang berhubungan dengan kemampuan guru, maka rancangan penelitian yang digunakan adalah studi kasus (Black,J dan D,J Champion,1999).

2.3 Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data menggunakan  angket, tes, dan  wawancara. Tes digunakan untuk mengumpulkan data tentang pemecahan masalah matematika realistik. Tes yang digunakan adalah  memodifikasi tes yang disusun oleh Verschaffel dan Erik De Corte (1997). Banyak soal adalah 5 soal, dan guru diminta menjawab masalah lengkap dengan prosedur pemecahannya, serta alasan, atau kesulitan yang dialami.
 Angket digunakan untuk mendapatkan data tentang karakteristik guru, serta faktor-faktor yang mempengaruhi kemampuan pemecahan masalah realistik. Interviu digunakan untuk mengklarifikasi data yang mempengaruhi kemampuan guru dalam memecahkan masalah matematika realistik, dan triangulasi. Wawancara dilakukan pada guru yang pemecahannya spesifik seperti benar semua, salah semua atau menggunakan cara-cara yang tidak umum. Wawancara dilakukan seminggu setelah pengumpulan data tentang pemecahan masalah realistik, dan dilaksanakan di Jurusan Pendidikan Matematika IKIP Negeri Singaraja. Agar mendapatkan data yang akurat, maka hasil wawancara direkam dengan menggunakan tape recorder.

2.4 Teknik Analisis Data
Data tentang karakteristik guru seperti jenis kelamin, kualifikasi pendidikan terakhir, dan pengalaman kerja diidentifikasi, dan disajikan dengan daftar distribusi frekuensi. Data tentang kemampuan guru dalam memecahkan masalah matematika realistik diklasifikasi menjadi 5 yaitu: (1) jawaban realistik (JR), (2) jawaban tidak realistik (TR),  (3) kesalahan teknik (KT), (4) tidak ada jawaban (TAJ), dan (5) jawaban lain (JL)
a.    Jawaban realistik (JR), secara efektif menggunakan proses pengetahuan dunia real tentang kontek dari pernyataan masalah dalam satu atau lebih tingkat dari proses pemecahan.
b.    Jawaban tidak realistik (TR), hasil dari aplikasi operasi aritmetika tidak berdasarkan pada analisis kritis pernyataan masalah.
c.    Kesalahan-kesalahan teknik (KT), juga merupakan aplikasi langsung dari operasi aritmetika yang diharapkan dari pernyataan masalah, tetapi berbeda dengan TR sebab teknik yang dilakukan salah atau tidak tepat dalam melakukan operasi.
d.   Tidak menjawab (TJ), guru tidak menjawab masalah
e.    Jawaban lain (JL), selain dari 4 klasifikasi di atas.

Selain itu, jawaban komentar pada kotak dibubuhi tanda “+” atau “-“.  Tanda “+”dibubuhkan bila komentar menunjukkan pengetahuan dunia nyata atau pertimbangan realistik, sedangkan tanda “-“ dibubuhkan bila komentar tidak realistik. 
Data tentang faktor-faktor yang mempengaruhi kemampuan guru dalam memecahkan masalah realistik, dianalisis secara deskriptif (persentase).

3. Hasil Penelitian dan Pembahasan
3.1 Hasil Penelitian
            Kemampuan guru dalam pemecahan masalah realistik disajikan pada tabel berikut.
Tabel 2: Kemampuan Guru dalam Pemecahan Masalah Realistik
No.
Masalah
JR+
JR-
TR+
TR-
KT
TJ
JL
1
Ada 300 orang siswa ingin memindahkan almari ke suatu tempat. Setiap almari hanya dapat dipindahkan oleh paling sedikit 8 orang. Bila setiap siswa  memindahkan almari hanya sekali, berapakah banyak almari yang dipindahkan ?

3
3




2
Putu mempunyai 12 batang  kayu yang masing-masing panjangnya 2,25 meter. Setiap kayu dipotong menjadi beberapa bagian. Berapa banyak potongan kayu dengan panjang 1 meter dapat dibuat dari semua kayu tersebut ?

4
1
1



3
Anis mempunyai 15 orang teman, dan Dedi mempunyai 5 orang teman. Anis dan Dedi memutuskan untuk mengadakan pesta bersama-sama. Mereka mengundang semua teman-teman mereka, dan semuanya hadir. Berapa banyak teman-teman mereka yang hadir ?



6







4
Robi lahir tahun 1990. Sekarang tahun 2002. Berapa umur Robi ?



6



5
Jarak rumah Ayu dengan sekolah adalah 8 km, sedangkan jarak rumah Made dengan sekolah adalah 12 km. Berapakah jarak antara rumah Ayu dan Made ? 
1


5







Semua guru mengatakan belum pernah memecahkan masalah realistik sebelumnya, situasi masalah dapat dibayangkan, mengajarkan kepada siswa belum pernah , dan masalah ini baik diberikan kepada siswa
            Hasil wawancara menunjukkan, jawaban guru tidak ditentukan oleh pengalaman sebelumnya, mereka belum pernah memecahkan masalah realistik, belum pernah memberi masalah realistik kepada siswa. Begitu pula, mereka belum pernah diberikan oleh dosen semasa kuliah.  Kemampuan mereka lebih banyak ditentukan dengan memikirkan secara logis permasalahan yang diajukan, seperti kutipan wawancara berikut.

Subyek S
*apakah pernah memberikan soal seperti ini pada siswa #belum, disini siswa kan diajar yang menggunakan angka (pengetahuan matematika) belum menggunakan pertimbangan sehari-hari.* Pernahkan Ibu sebelumnya mengerjakan masalah seperti ini, misalnya pada waktu kuliah #belum *apakah soal seperti ini perlu diberikan kepada siswa #perlu, supaya siswa bisa tidak hanya pengetahuan matematika tetapi juga pertimbangan realistiknya tahu.

Subyek P
*pernah nggak Bapak mengerjakan soal seperti ini #di SD belum pernah, namun soal yang demikian ada yang mengandung. Apa jawaban yang diberikan oleh anak-anak kami betulkan yang jelas ada kedekatan jawaban. *pemecahan masalah ini disamping menggunakan pengetahuan matematika juga menggunakan pengetahuan sehari-hari. Kalau diberikan kepada siswa bagaimana kira-kira #bagus tetapi kemampuan di SD belum mampu. Kalau di SD itu tidak akan mampu menggunakan pemikiran sehari-hari. *Ada nggak situasi masalah yang tidak dapat dibayangkan # tidak, Cuma menuntuk penguasaan orang. *Pernahnggak mengerjakan soal seperti ini sebelumnya #tak pernah *tapi kok bisa menjawab bagus #menggunakan logika
Keterangan:
* : pertanyaan peneliti; # : respon subyek peneliti
3.2 Pembahasan
            Masalah pertama menyangkut konsep pembagian bersisa. Kemampuan guru dalam memecahkan masalah ini adalah hanya 3 orang guru yang mempunyai kategori “JR-“ dan 3 orang mempunyai jawabab “TR+”. Hal ini berarti sebanyak 50 % guru kurang mampu memberi alasan sesuai dengan pertimbangan realistik, dan ada sebanyak 50 % guru tidak memberi jawaban realistik tetapi dapat memberi alasan yang logis. Jawaban banyaknya almari yang dipindahkan 37,5 almari jelas tidak realistik.
            Masalah kedua menyangkut konsep perkalian. Ada sebanyak 66,7 % guru mempunyai kemampuan “JR-“ , sebanyak 16,65 % guru mempunyai kemampuan dengan kategori “TR+”, dan sebanyak 16,65 % guru mempunyai kemampuan dengan kategori “TR-”. Hal ini menunjukkan sebagian besar guru mempunyai jawaban realistik tetapi alasannya tidak logis.
            Masalah ketiga menyangkut konsep penjumlahan. Semua guru mempunyai jawaban dengan kategori “TR-“.  Hal ini berarti  jawaban guru tidak realistik, dan alasannya juga tidak logis.
            Masalah keempat menyangkut konsep pengurangan. Semua guru (100 %) mempunyai jawaban dengan kategori “TR-“, dengan kata lain jawaban guru tidak realistik dan tidak dapat memberi alasan yang logis.
            Masalah kelima menyangkut operasi hitung penjumlahan atau pengurangan. Hanya seorang guru atau 16,65 % yang mempunyai jawaban realistik dan alasan yang logis, sedangkan lainnya (83,35 %) berada pada kategori jawaban tidak realistik dan alasan tidak logis.
             Secara umum  jawaban guru atau kemampuan guru memecahkan masalah realistik disebabkan oleh  tidak mempunyai pengalaman dalam pemecahan masalah realistik. Guru  dalam mengerjakan masalah dominan  menggunakan pengetahuan matematik daripada pertimbangan realistik. Hal ini dapat dipahami karena guru memang belum mempunyai pengalaman, baik pengalaman sebelum menjadi guru, atau pengalaman dalam  profesionalisme sebagai guru tentang pemecahan masalah realistik. Disisi lain, pengalaman guru sebelumnya sangat mempengaruhi unjuk kerja guru. Hal ini sejalan dengan pendapat Medley (dalam Mitzel, 1982) kelompok variabel yang langsung mempengaruhi hasil belajar siswa adalah pengalaman belajar dan karakteristik siswa. Pengalaman belajar siswa dipengaruhi oleh kinerja guru, dan faktor di luar kelas, sedangkan kompetensi guru ditentukan oleh karakteristik yang dibawanya ketika ia diterima menjadi guru dan oleh pendidikan dalam jabatannya.

4. Penutup
            Berdasarkan uraian sebelumnya. disimpulkan : (1) secara umum kemampuan guru SD dalam pemecahan masalah realistik tergolong “TR-“ atau dengan kata lain, tidak realistik dan kurang mampu memberi pertimbangan/ alasan yang logis, dan (2) kemampuan guru dalam pemecahan masalah realistik lebih dominan dipengaruhi oleh pengalaman sebelumnya.
            Walaupun simpulan penelitian ini bersifat kasuistik (hanya berlaku untuk subyek penelitian ini) tetapi hasil ini menunjukkan indikasi yang cukup kuat bahwa guru tidak mempunyai pengalaman dalam memecahkan masalah realistik. Oleh karena itu, disarankan kepada lembaga penghasil guru  sekolah dasar untuk meninjau kembali silabi perkuliahan matematika. Masalah-masalah yang memerlukan pengetahuan matematik dan pertimbangan realistik perlu diberikan kepada mahasiswa sehingga kelak mereka dapat memecahkan masalah realistik dan mentransfer pengalamannya kepada anak didik.
Kepada peneliti lainnya disarankan untuk mengadakan penelitian sejenis dengan melibatkan subjek yang lebih banyak dan luas sehingga mendapatkan hasil yang lebih akurat. 

DAFTAR PUSTAKA

Black,J dan D,J Champion.1999.Metode dan Masalah Penelitian Sosial. Bandung:Refika Aditama
Koehler dan Grouws. 1992. “Mathematics Teaching Practices and Their Effect”. Handbook of Research on Mathematics Teaching and Learning. New York: Macmillan
Mitzel H.E. 1982. Encyclopedia of Education Research. Vol.4. New York. Free Press. A    Division of Mc Millan             Publ.Co,Inc.P. 1894 - 1903
Novotna. 2000. “Students’ Levels of Understanding of Word Problems”. Makalah disampaikan dalam ICME-9, July 31 – August 6, 2000. Tokyo:-
Reusser dan Stebler. 1997. “Every Word Problem has a Solution: The Case of Word Problems ”.  Jurnal Learning and Instruction, Vol 7 No.4. hlm. 309 - 327
Soedjadi.1998/1999. Kiat Pendidikan Matematika di Indonesia. Jakarta: Depdikbud Dirjen Dikti.
Suharta.2001. Pengertian Siswa Kelas V SD dan Kelas I SLTP tentang  Masalah Realistik. Hasil Penelitian. IKIP N Singaraja
Verschaffel dan Erik De Corte. 1997. “Teaching Realistic Mathematical Modeling in the Elementary School: A Teaching Experimrnt With Fith Graders” .  Journal for Research in Mathematics Education Vol.28. No.5 . hlm. 577-601

»» Baca selengkapnya.....

Followers

Labels

 

Inovasi Pembelajaran Matematika Copyright 2009 Shoppaholic Designed by Ipietoon Image by Tadpole's Notez